Mikke Susanto Curator Post


Jupri Sebagai Aset

            Jupri bagi seni rupa Indonesia adalah sebuah tesis tersendiri. Ia hidup di Kabupaten Pasuruan, meskipun sesekali ia melanglang buana ke kota lain, seperti saat ini ketika ia menggelar pameran tunggalnya. Pasuruan, sebuah kota kecil yang terletak di Jawa Timur, adalah kota yang lebih sering terkenal karena santri-santrinya. Jupri tahu itu. Jupri sadar bahwa di kotanya ia tidak akan seperti para perupa yang ada di Yogya, Bandung, maupun Bali, apalagi seperti di Paris dan New York yang semai atas gemuruh wacana seni rupa, yang sibuk dari pameran satu ke pameran lain, yang gaul akan beragam pemahaman dan apresiasi lukisan dan benda seni lainnya. Sekilas agak sulit ia berlaku seperti Warhol yang hidup glamour, atau van Gogh yang liar dan gila, atau seperti Agus Suwage yang berpikir kritis atas dirinya sendiri.

Jupri telah berpuluh-puluh tahun menghadapi persoalan lingkungan hidupnya di Pasuruan, sejak dilahirkan 1963. Setidaknya selama kurun 3 dekade ini ia berputar dengan penjiwaannya secara mandiri, bebas tanpa ikatan manajerial yang ketat. Selain itu, ia bisa dengan mudah bercengkerama dengan rekan-rekannya yang kondisinya amat berbeda dengan dirinya yang bebas. Ia tak segan berpikir liar bersama para pelukis lainnya yang sibuk mencurahkan pikiran tanpa wadah, yang akhirnya menjadi sebuah kelompok. Berpolah tingkah dengan berkarya dilakukan dengan semampunya di tengah gempuran seniman-seniman kota besar yang karya-karyanya gigantik dan steril.

Lebih jauh lagi selama itu pula ia sendiri turut disibukkan dengan suasana kota santri yang membebani situasinya sebagai seniman, karena akar religiusitas dan pikiran estetiknya kadang kala berseberangan. Mungkin sekilas yang terjadi adalah Jupri yang tampak a-religius, a-sosial, a-moral dalam konteks tertentu. Bahkan sangat mungkin, di seberang pikiran Jupri--tepatnya para penonton aksi-aksinya--banyak yang telah menganggapnya gila. “Ngapain aja kamu Jupri!” Realitas idealnya sebagai seniman, bukan sebagai santri maupun masyarakat pada umumnya turut menyumbang “kegilaannya” selama ini. Ia tak pernah peduli melakukan tanggung jawabnya sebagai seniman: menyajikan, ditonton, dihargai, dan mungkin juga dicibir. Dia tampak bersahaja.

Mari meninjau dari sisi lain. Jupri pasti menyadari persoalan daya dukung dirinya sebagai seniman. Sebagai pria yang bertanggung jawab ia tak mungkin melupakan keluarga. Lalu ia menciptakan pasarnya yang khas. Segala upaya, sebagai orang yang berada di dunia kreativitas, ia cukup pandai mengelola keadaan. Jika dibandingkan dengan para perupa yang ada di kota besar, ia tidak bisa dibandingkan, namun juga tidak bisa dikatakan gagal secara ekonomi. Terbukti segala rupa usaha dijalani: agribisnis, industri kreatif, sampai berbagai kompetisi usaha lainnya dilakoni. Dengan demikian ia akhirnya mampu membiayai keseniannya secara menakjubkan untuk ukuran seorang penduduk Pasuruan. Jupri sampai sejauh ini saya pandang telah berhasil memadukan konsep kegilaan idealistik dengan situasi normalnya sebagai suami, ayah, dan anak bagi orang-orang di sekitarnya.

Padahal pendidikan seni rupa Jupri juga bukan dari pendidikan formal, hanya berbekal sebagai mantan mahasiswa D2 di sebuah lembaga sinematografi di bilangan Pancoran Jakarta Selatan. Ia hanya berguru pada orang-orang yang dulu dikenalnya di sekolah menengah di Pasuruan. Momen terbaiknya yang disuguhkan kepada saya adalah ketika masa remajanya diisi dengan seringnya keluar masuk toko buku Sari Agung di kotanya hanya untuk melihat dan membaca buku tentang Leonardo da Vinci, pelukis master masa Renaisans Italia.

Plus, pendidikan seni rupanya adalah kondisi ruwetnya sinyal berbagai energi kreatif antara Surabaya dan Probolinggo, atau antara Jakarta dan Bali, serta antara Paris dan Yogya. Bersama dengan rekan-rekan pelukis di Pasuruan (Jawa Timur) lainnya ia membabat “hutan dan belukar” seni dengan instrumen seadanya, sehingga ia memperoleh pemahaman mengenai medan sosial seni rupa di Indonesia. Oleh karena itu ia lebih banyak mengekplorasi perkara teknik dan pengemasan karya, bukan pada sisi pendalaman kasus/wacana. Jika pun dalam konteks wacana diselami, ia lebih banyak mencatat perkara dan mengimplementasi dalam beragam teknik. Sesungguhnya inilah hasil dari didikan non-formal. Wajar saja saya kira, karena persoalan pendalaman akan mengejawantah dan menguat bersamaan dengan hasil diskusi dengan orang-orang yang intens serta ahli dalam sebuah kasus yang sedang dikaji.

Karya-karya Jupri memberi pemahaman pada saya mengenai persoalan sensibilitas ruang dan waktu yang tinggi. Meskipun ia hasil didikan otodidak seni rupa, kemauannya untuk mencatat hal-hal yang tengah terjadi saat ini cukup besar. Berbagai kasus seperti peristiwa penembakan penduduk di Alas Tlogo 2007, ijazah palsu seorang pejabat, wafatnya Gusdur, sampai kedatangan Presiden Barack Obama ke Indonesia menjadi tema-tema lukisannya selama ini. Jupri juga tak lelah mengenalkan lokalitasnya, kampungnya, kawasan masa remajanya ke ranah kekaryaan. Ia sangat percaya diri dengan catatan-catatan di otaknya. Mungkin suatu kali jika Anda yang belum pernah melihat perawakan fisiknya, Jupri mirip Habibie. Jika Habibie sering berseloroh dirinya “kecil, tapi otak semua”, Jupri juga bisa berseloroh “kecil, tapi estetik semua”. Jupri adalah sosok manusia postmodern dari Pasuruan.

Maka pada suatu kali wajar bila kita menemukan berlembar-lembar catatan publikasi mengenai prestasi-prestasinya. Namanya keluar masuk Museum Rekor Indonesia dengan terbitnya “lukisan terkecil”, keluar masuk televisi karena rekor pelukis terunik dan termahal. Tidak bisa dilupakan ia juga keluar masuk, berpameran maksudnya, di lembaga negara dan publik di Jakarta, Surabaya, Pasuruan karena seringnya pameran di masjid, gedung DPR, mall, kantor polisi, lokasi lumpur Lapindo, sampai Istana Merdeka Jakarta.

Itulah Jupri yang tak kenal lelah. Dari Pasuruan ia terus-menerus ikut menggerus dinamika seni rupa Indonesia. Semoga ia juga tak pula lelah untuk mengejar yang belum dikerjakan banyak perupa kita, berupa kerja pendokumentasian namanya secara abadi, sebentuk buku biografi untuk generasi seni rupa seribu tahun mendatang. Sebuah biografi adalah sebuah level dimana seseorang berada pada puncak karirnya secara matang, penuh perjuangan, dan patut untuk dikenang. Jupri adalah seseorang yang sudah selayaknya memiliki biografi, karena ia adalah tesis bagi kita semua.

Penulis adalah penggiat dokumentasi seni rupa & staf pengajar Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. (April, 2012)



=============================================================================