Tampilan karya-karya seni lukis Jupri
Abdullah (lahir di Pasuruan, 1963) segera mengingatkan kita kepada karya-karya
almarhum Amang Rahman Jubair. Ia memang terang-terangan ingin mewarisi gaya
seni lukis Amang Rahman. Bedanya, secara teknis karya-karya Jupri Abdullah
acapkali terlihat lebih kasar tak selembut garapan karya tokoh idolanya. Bisa
ditebak; bahwa mungkin karena Amang Rahman yang menemukan dan Jupri yang
melanjutkan, barangkali karena Jupri ya Jupri, Amang ya Amang. Tapi kiranya
lebih mudah diduga, karena mungkin jam terbang Jupri belum sematang Amang
Rahman. terlepas dari berbagai kemungkinan tersebut, yang jelas Jupri adalah
bukan Amang Rahman. Gaya dan tampilan karya boleh sama, tetapi karena lahir
dari pribadi yang tidak sama, maka tetap menghasilkan persoalan yang berbeda.
Sebetulnya, dunia seni lukis adalah dunia pribadi.
Tulisan kritis ini berangkat dari
kejujuran, walaupun saya sadari sepenuhnya bahwa kejujuran dan keterusterangan
akan terasa menyakitkan. Akan tetapi, kritik akan berpihak kepada tujuan untuk
membangun semangat berkembang.
Karya-karya Jupri Abdullah, yang ternyata
merupakan kepanjangan dari perjalanan kekaryaan Amang Rahman, tentu bisa saja
akan dianggap tidak terlampau menarik untuk disimak. Tetapi ketika berkarya,
Jupri Abdullah tentunya tidak segera akan menjadikan dirinya seperti Amang
Rahman atau mengikuti jejak-jejak yang dilakukan Amang Rahman. Sewaktu-waktu
mungkin ia akan segera beringsut untuk menemukan jalur penemuan
ke-pribadian-nya sendiri.
Apabila tidak, maka nasibnya akan
menjadi buntut dari 'kebesaran' nama Amang Rahman. Sebesar-besarnya buntut, ia
akan tetap berposisi di belakang kepala. Tidak buruk akibat yang akan
ditanggung Jupri Abdullah dengan karya-karyanya, tetapi ia tidak pula bisa
melenggang lebih jauh di masa depan.
Saran pahit saya adalah mengajak
karya-karya Jupri Abdullah untuk beranjak dari Amang Rahman menuju Jupri
Abdullah. Rekor kreativitas Jupri Abdullah ketika memperoleh predikat dari Muri
sebetulnya pintu gerbang bagi Jupri Abdullah dalam kerangka memacu kreativitas
berikutnya, dengan cara yang berbeda.
Saksi Bisu, 120 x 120 cm 2005 |
Saya percaya dan yakin, bahwa Jupri
Abdullah punya jurus-jurus sakti mandraguna untuk mendigdayakan kreativitas,
kecakapan dan cara berfikirnya yang mampu menerobos batas (constraint). Pada
'Saksi Bisu' (2005) sebelumnya Jupri Abdullah bisa banyak belajar untuk
menemukan pikiran, modus dan kedalaman ungkapan pribadinya, dengan sebuah
resiko menggeser ke-Amang-an.
Mamannoor, 2005
kritikus seni,
Indonesia
Jupri Art Gallery Indonesia beserta crew, mengucapakan turut berduka cita atas
meninggalnya Bapak Mamannoor, kritikus seni Indonesia