Apakah seni ? Estetika saat ini menjadi
sangat paradoksal, kalau tidak malah bisa disebut memasuki situasi teramat aneh
dan ganjil. Dengan mudah kini semua orang memiliki akses—baik kesempatan mengunjungi
pameran, art fair, kegiatan balai
lelang, dan terutama Internet—ke perspektif lebih luas pada kreasi-kreasi
artistik yang sifatnya lintas budaya maupun lintas sejarah. Kekayaan bentuk
perupaan maupun medium perupa-perupa muda kita sekarang pasti tak bisa
dilepaskan pada situasi tersebut. Meski, di lain pihak kadang tercium juga
semacam skandal, sejumlah karya merupakan jiplakan dari satu karya yang bisa
ditemukan di Internet atau katalog lelang internasional. Dari kemudahan itu,
orang bisa mempelajari patung dan lukisan dari taruhlah zaman Paleolithic,
musik dari mana saja, ritual-ritual seni dari seluruh planet, literatur dan
seni visual setiap negara, pada masa lalu maupun kini.
Menghadapi itu semua, sudah sangat
terlihat—kalau kita cuma mengandalkan kritik seni untuk memahami—betapa
terpontal-pontalnya kritik seni. Ketika kritik seni tak mungkin lagi memahami
perkembangan, filsafat coba ambil bagian. Di Barat itu dilakukan. Di sini,
beberapa spekulasi filsafat juga ada yang mencoba. Perangkat analisis yang
kompleks itu biasanya digunakan untuk karya yang juga kompleks, misalnya untuk
seni rupa ditrapkan terhadap karya Marcel Duchamp, fotografi terhadap Sherrie
Levine, di musik terhadap John Cage—ingat karya musik John Cage yang membikin
orang terbengong-bengong, 4’33”. Pemikiran
di balik itu semua, meski tak terungkap, sepertinya berada dalam asumsi: sekali
kita bisa menerangkan karya paling marginal dan sukar, kita akan menjadi
mengerti tentang seni, dunia seni. Soalnya, masih ada asumsi berikut di balik
itu semua: seni kan sifatnya universal.
Betulkah ? Denis Dutton, yang oleh
koran ternama Inggris Guardian
disebut sebagai “situs Web terbaik di dunia”, dalam buku “The Art Instinct”
(Bloomsbury Press, 2009) malah mengkhawatirkan ikhtiar di atas bakal membawa ke
jurusan yang keliru. Kalau kita hendak memahami esensi pembunuhan dalam
peristiwa kriminal misalnya, janganlah melalui wilayah yang rumit, misalnya
aborsi atau keabsahan hukuman mati. Kita akan berputar-putar pada dilema-dilema
baik etis maupun filosofis, dan meninggalkan problem di depan hidung. Begitu
pun dalam seni. Menurut Dutton, kalau toh filsafat dibutuhkan, seharusnya dia
membedah seni sebagai aktivitas, objek, serta pengalaman yang menampak secara
alami dalam kehidupan manusia. Dia menyebut pendekatan ini sebagai
“naturalistik” (bukan dalam artian semata-mata didorong oleh dorongan
biologis), tapi lebih bergantung pada keajegan pola-pola lintas budaya yang
bisa diamati berhubungan dengan sikap dan wacana: pada proses pembuatan,
pengalaman, dan pemahaman terhadap karya seni bersangkutan.
Itu sekadar pengantar, untuk
menjelaskan standpoint saya dalam
menghadapi karya-karya tiga perupa yang tengah berpameran kali ini, yakni
Sujiwo Tejo, Jupri Abdullah, dan Aboe Jumroh. Tejo dan Jupri yang tampaknya
menjadi lokomotif pameran, sama-sama dari Jawa Timur. Tejo yang pernah saya
kunjungi kota asalnya, berasal dari Jember, Jupri dari Pasuruan. Sedangkan Aboe
Jumroh dari Purbalingga. Dalam hal melukis, ketiganya otodidak. Tidak berasal
dari perguruan tinggi seni.
Pada latar belakang para perupa ini
pula, sama-sama terdapat keunikan. Tejo yang pernah menjadi kolega saya di
Harian Kompas, selepas menjadi
wartawan aktif di berbagai kegiatan seperti mendalang, bermusik, menyutradarai
film, selain melukis. Jupri yang pernah menjadi guru seni rupa di SMP di
Pasuruan, pernah mendapat penghargaan antara lain sebagai pelukis terunik
dipopulerkan RCTI. Ia premarkasa dan penyelenggara konvoi lukisan terpanjang
100 KM Museum Rekor Indonesia. Masih ada beberapa hal aneh lain dia lakukan.
Aboe Jmroh, malah mengklaim spesialis menggarap suku Asmat Aborigin. Dia
memiliki kecepatan dalam melukis.
Mereka sekarang sama-sama melukis
dalam satu tema, yakni Gus Dur, panggilan akrab Bapak Bangsa Abdurrahman Wahid
yang kini telah almarhum. Dengan pilihannya itu, kiranya mereka tidak berada
pada discourse yang teramat rumit.
Posisi Gus Dur bagi bangsa ini atau lebih khusus bagi sejumlah orang yang
mengenalnya, bukan saja spesial dan inspiratif, tetapi juga bisa membedah sejumlah hal menyangkut pengalaman
bangsa ini.
Orang besar selalu seperti itu. Begitu
kuatnya kharisma dan keunikannya, sehingga dengan perjumpaan atau bahkan
sekadar persinggungan akan mengungkap refleksi yang mendalam tentang kehidupan.
Sekadar contoh yang bisa dialami siapa saja, terlebih yang mengenal Gus Dur
secara dekat. Gus Dur sepertinya tak pandang bulu terhadap status, jabatan,
asal-usul manusia. Semua diterima sebagaimana adanya. Gus Dur tak pernah tidur
jangan-jangan. Dimana dan kapan saja orang bisa menjumpai Gus Dur. Ia lintas
waktu lintas ruang.
Ketika Gus Dur wafat, kediamannya di
Ciganjur berikut wilayah sekeliling dipenuhi manusia. Rumah Gus Dur yang tak
seberapa luas jangan dibilang lagi. Orang penuh dimana-mana, di semua ruang
dari ruang tamu, ruang makan, dapur, bahkan kamar mandi dengan air tambahan
berjejer-jejer disediakan untuk wudhu. Bagi orang yang tak terbiasa atau mereka
yang suka menonjolkan wilayah privat, mungkin akan bilang, kok tak ada privacy.
Gus Dur jangan-jangan tak membutuhkannya.
Dia telah membuka diri untuk semuanya. Pada dirinya kita bertemu sebuah entitas
yang bersifat lintas ruang, lintas waktu, lintas sejarah, lintas ras, lintas
ideologi, dan lintas-lintas lainnya. Menjadi seorang pluralis yang dihormati
dan dipuja banyak orang hanyalah konsekuensi dari kesufiannya tadi.
Makanya, baik Tejo, Jupri, dan Aboe Jumroh, dengan
kelihatan begitu spontan menghadirkan tokoh pewayangan Semar dalam
merepresentasikan Gus Dur. Ada kawasan kognitif atau bahkan bawah sadar yang
sama, yang menempatkan Gus Dur pada posisi seperti tokoh wayang itu. Posisinya
adalah sifat keresian yang menjelma dalam bentuk manusia. Pada wayang itu
adalah Semar, seorang pamong para ksatria yang sebenarnya jelmaan dewa.
Aboe Jumroh - Jupri Abdullah - Sujiwo Tejo |
Mengangkat tema Gus Dur seperti dalam
pameran mereka bertiga, menjadi teramat relevan, terlebih dalam situasi bangsa
yang tak kunjung menjadi lebih baik. Dari hari ke hari, meski para ahli dan
penentu kebijakan politik ekonomi berseru katanya keadaan lebih baik, kita
merasakan, itu omong kosong. Semua politikus suka omong kosong.
Dulu, dalam kesumpekan kita bertanya
pada Gus Dur. Kini, baru kita sadar, tak ada lagi tempat kita bertanya. Tejo,
Jupri, dan Aboe Jumroh tampaknya menyimpan keresahan serupa. Itulah yang bisa
kita lihat lewat karya-karya mereka dalam pameran ini.
Bre Redana
Redaktur Kompas
Ciawi, Agustus 2010