Agus Dermawan T. Curator Post

 
Jupri Abdullah, Antara Sensasi dan Kontemplasi
        Jupri Abdullah, kelahiran Pasuruan, Jawa Timur 1963, adalah pelukis yang gemar bereksperimen. Hasil eksperimennya lantas ia publikasikan ke masyarakat sebagai sebuah penemuan. Dan penemuan itu, dengan caranya yang khas ia sosialisasikan dalam panggung sensasi, sehingga menarik perhatian. Jupri menyadari, cara sosialisasi yang sensasional itu bisa menstimulasi masyarakat untuk memperhatikan. Dari perhatian itu masyarakat diharapkan dapat menambah pengetahuan baru yang sanggup merangsang pertumbuhan. Maka lihatlah sepak terjangnya yang dilakukan sebagai seniman selama 2 dasawarsa terakhir.

          Pada tahun 1986 ia menemukan medium baru dalam melukis dengan menggunakan saribuah nanas. Cairan saribuah ini oleh Jupri dipertemukan dengan landas lukis berupa kertas foto berwarna. Difusi dan sintesa saribuah nanas dengan kertas foto dianggap sanggup menghasilkan nuansa-nuansa berbeda dibanding efek estetik cat minyak, cat air atau cat akrilik. Upaya apik itu oleh Jupri tidak dibiarkan teronggok sebagai dokumen. Ia terus mempublikasikannya dengan sekuat tenaga, sampai sejumlah stasiun tv berkali-kali selama bertahun-tahun menyiarkannya sebagai berita langka.

          Pada tahun 2006 ia mencoba melukis dengan bahan lumpur Lapindo. Cairan lumpur kelabu itu ia pulaskan di atas kertas atau kanvas, sehingga menjumbulkan efek-efek artistik yang sebelumnya tidak dijumpai dalam cat konvensional. Kita tahu, sebelum Jupri sudah ada pelukis yang menggunakan lumpur (tanah) sebagai medium. Namun lumpur Lapindo Jupri menyimpan bobot yang berbeda lantaran menyimpan makna dan missi non kesenian di dalamnya. Lukisan lumpur Lapindo adalah sebentuk amsal ihwal bagaimana rakyat Sidoarjo menyiasati dengan kreatif semburan yang mencemaskan itu. Di balik semuanya ia ingin berkata, bahwa pelukis adalah selalu menjadi bagian dari bencana, dan ingin berpartisipasi dalam meringankan bencana. Sebagaimana lukisan saribuah nanas, lukisan lumpur ini juga diuar-uarkan di berbagai stasiun televisi.

 “Seni lukis adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika hidup masyarakat,” kata Jupri Abdullah.

          Oleh karena itu, di mana ada peristiwa sosial, di situ seni lukis ambil bagian. Itu sebabnya, ketika di Alas Tlogo, Pasuruan, terjadi insiden, Jupri lantas mengangkat kuas. Di Alun-alun kota Pasuruan ia lalu demonstrasi melukis di atas kanvas selebar 11 meter. Demo itu ia juluki “Aksi keprihatinan insiden Alas Tlogo Pasuruan”. Aksi yang ia lakukan pada tahun 2007 ini merupakan lanjutan dari semangat yang ia letupkan pada 6 tahun sebelumnya. Tahun 2001, untuk mengutuk terorisme nasional dan global, Jupri sekonyong-konyong melakukan demo melukis di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Tema yang diangkat dalam karyanya adalah “Terorisme di mata pelukis”.

          Itulah yang (paling) kita tahu mengenai Jupri Abdullah sebagai pelukis. Gerakannya yang responsif dan tak terduga, dan presentasinya yang cenderung mengagetkan, menyebabkan ia muncul bagai “mercon” yang mengguncang latar seni rupa. Namun tentu keliru apabila kita selalu berpikir bahwa Jupri adalah stereotip dari mercon yang bikin orang kaget. Lantaran dalam saat lain ia ingin tampil sublim, kontemplatif, dan menjauhi gema-gema letupan. Pameran yang berjuluk “Andai Aku Kaya, Kubeli Indonesia Kembali” yang saat ini kita saksikan, adalah salah satu buktinya.

Kontemplasi Abstrak

          Dalam pagelaran ini Jupri mengetengahkan lukisan-lukisan yang berangkat dari pengolahan elemen-elemen seni lukis abstrak, sambil bermain dengan simbol-simbol yang termasuk mudah dibaca. Lukisan “Borobudur Saat Malam” menggambarkan langit kelam yang pada bagian-bagiannya dibelah siluet-siluet yang muncul dari puncak-puncak candi Borobudur. “Meditasi Dewi Kwan Im” membayangkan udara yang menkristal, dan menjelma menjadi ruang yang membawa ketenangan. Lukisan “Naga Sembilan” berupa gumpalan awan merah yang bergulung menyerupai kumparan tubuh naga, dengan disertai sejumlah noktah yang mencitrakan mata-mata menyala.

          Lukisan-lukisan di atas lalu mengingatkan kita kepada manifestasi tokoh abstrak masa silam seperti Nashar, Zaini atau Ahmad Sadali yang lewat karyanya seringkali menawarkan getaran kehidupan batin (inner life). Di sini Jupri ingin membawa kita kepada suasana perasaannya pada saat ia menghadapi atau mengolah obyek-obyek lukisannya itu. Ia percaya bahwa sebuah lukisan yang menawarkan “dunia lain” dengan “perasaan lain” dapat memperkaya pandangan batin siapa saja yang melihatnya. Karena hakikat seni lukis abstrak sesungguhnya menggubah yang semula tak ada menjadi ada. Yang semula hanya bayangan menjadi persoalan. Yang tadinya tak kelihatan menjadi punya cerita dan muatan.

          Sejak lama Jupri dikenal suka kepada penggambaran pesan agamis, dengan melampirkan nukilan ayat-ayat Al Qur’an dalam bentuk kaligrafi. Kadang juga dengan gambar-gambar simbolik yang membawa penikmat karyanya meluangkan waktu untuk menafsir dan menerjemahkannya. Lukisannya yang berjudul “Turunnya Ayat Pertama “ dan “Ayat-ayat Merah” adalah contoh yang lumayan. Meski dalam lukisan ini unsur kaligrafi muncul tidak lebih dominan ketimbang unsur tekstur, yang mengangkat karyanya jadi menyimpan kedalaman. Kemampuan Jupri dalam menggarap kaligrafi mengingatkan kita kepada karya “kaligrafi terkecil”nya (sehingga dicatat oleh Museum Rekor Indonesia), yang dicipta  tahun 2003. Di sisi lain lukisan “Perdamaian Dunia” dan “May Way” adalah petunjuk bahwa Jupri cakap dalam menggalang simbol-simbol secara artistik.
Perdamaian Dunia, 130 x 130 cm 2007

          Sementara lukisan yang dijadikan maskot pameran ini, “Andai Aku Kaya, Kubeli Indonesia Kembali” justru muncul dalam presentasi yang cenderung impresionistik. Di kanvasnya nampak seorang lelaki berkulit hitam sedang suntuk menyedot sebatang rokok. Sambil merokok lelaki tersebut membayangkan dirinya menjadi kaya sehingga bisa membeli (kembali) Indonesia dari para investor asing yang kini menguasai lembar demi lembar wilayah tanah Air. Dan Indonesia yang dibayangkan tergambarkan dalam peta yang terpampang di belakangnya.

          Obsesi Jupri itu tentulah bisa dikategorikan sebagai khayal dan igauan, sebagai refleksi dari sikap utopia. Namun di situ ia ingin mengatakan, betapa kini rakyat kecil memang cuma bisa terperangkap di dalam sungai harapan yang bermuara kepada pantai sia-sia. Meski di balik semua itu selalu terbetik sejumlah harapan.
          
Jupri dan Kontemporerisme 
 
          Lukisan-lukisan Jupri Abdullah dalam pameran ini muncul pada saat masyarakat seni rupa sedang demam istilah kontemporer, dan pelukis sedang ramai-ramai memburu predikat kontemporer. Sehingga tak sedikit orang yang bertanya, adakah seni lukis Jupri juga kontemporer, atau sama sekali bukan kontemporer. Seandainya kontemporer, di mana kekontemporerannya? Jika bukan, mengapa? Jupri nampaknya tidak terlampau perduli pertanyaan-pertanyaan itu. Sekaligus nampaknya ia juga tidak tertarik dengan istilah yang acapkali baur dan pada akhirnya hanya mengacu kepada pasar itu. Namun demikian, dalam kesempatan ini menarik apabila pemahaman publik atas istilah itu diluruskan.  
   
          Pendapat umum cenderung mendefinisikan lukisan kontemporer sebagai “lukisan masa sekarang” yang dicipta oleh para seniman muda dekade terakhir. Atau generasi akhir abad 20 yang menyeberang ke awal milenium ketiga. Tentu saja pengertian ini tidak seratus prosen benar, lantaran menisbikan lukisan “kontemporer” yang dicipta oleh seniman generasi sebelumnya. Memang, apakah seniman “dekade silam” yang hidup dan mencipta di zaman sekarang, tidak dianggap kontemporer?

          Dari keraguan itu pemahaman kontemporer pun diperluas. Umpamanya : lukisan kontemporer adalah lukisan yang secara tematik merefleksikan situasi masa sekarang. Ya, seperti yang dikerjakan oleh Jupri Abdullah itu. Namun anehnya, karya-karya seni lukis bertema masa sekarang yang dicipta oleh para seniman masa lalu, tetap saja tidak dianggap kontemporer. Berangkat dari perkara ini, istilah kontemporer pun semakin ramai dipertanyakan.

          Kata kontemporer memang tidak bisa dipergunakan semena-mena untuk menyebut mashab seni. Karena kata ini mencitrakan waktu yang mengambang. Dari tinjauan etimologis sebutan kontemporer berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Jadi lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Oleh karena itu, sebutan kontemporer sedari dulu sudah ada. Sejak tahun 1950 lukisan tradisional Bali karya Ida Bagus Made Nadera disebut “Bali kontemporer”. Lukisan batik akhir 1960-an disebut lukisan kontemporer. Karya para perupa kelompok Seni Rupa Baru tahun 1980-an disebut kontemporer.

          Namun pencarian definisi berdasar ambang-ambang waktu tetap saja membingungkan. Di tengah kebingungan itu para pengamat, kritikus, kurator dan pemikir seni buru-buru mencari definisi yang lebih masuk akal dan  komprehensif, sambil mengkompilasi pendapat-pendapat pengamat asing.

          Misalnya : “Seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan dari wacana post modern dan post colonialism. Salah satu konsep perwujudan dari wacana itu adalah membangkitkan indegenous art, atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman. Dengan pengertian demografis itu, kita bisa meraba seolah seni kontemporer hanya ada di wilayah bumi bagian Timur atau Selatan, atau bukan di Barat, seperti lukisan-lukisan ciptaan Jupri yang bisa kita nikmati kali ini. Tapi, sudah tepatkah rumusan itu? Belum tentu.
                       
          Lalu, di tengah upaya yang terus mencari rumusan pas, seni rupa kontemporer (Indonesia) mencari-cari jawaban lain. Umpamanya : seni kontemporer adalah seni yang berusaha melawan kaidah-kaidah yang ada dalam seni modern. Dan  kaidah itu adalah : orisinalitas, etika konvensional, individualitas, kedalaman karya, bobot tema, penggalian filosofi sampai pencapaian greget. Dari sini lantas lahir seni lukis “kontemporer baru” yang memanifestasikan hal-hal yang ringan, remeh-temeh, nyentrik, atau melucu semaunya. Sehingga pengamat seni Bre Redana di harian Kompas menulis definisi yang sekenanya tapi serius : “Lukisan kontemporer adalah seni yang secara tematik rada-rada aneh dikit”.

          Sampai di sini kita pun boleh meyakini lagi, lukisan-lukisan Jupri Abdullah yang seringkali mengusung missi, tema, inspirasi dan aspirasi ganjil, sah untuk dimasukkan dalam kategori kontemporer. Namun sekali lagi, apa gunanya memikirkan istilah-istilah yang ruwet dan bikin sakit kepala? Kontemporer atau bukan kontemporer, tidak ada hubungannya dengan nilai lukisan yang tercipta.

“Lukisan-lukisan saya lebih ingin mengetengahkan makna ketimbang istilah dan kata”, ujar Jupri Abdullah, yang pernah menjadi wartawan dan pemimpin redaksi sejumlah mingguan. ***

Agus Dermawan T.
kritikus dan penulis buku-buku seni rupa

**Jakarta, 2008




===================================================================
  
    

Pembahasan mengenai lukisan Jupri Abdullah harus dimulai dengan ingatan kita atas lukisan Amang Rahman Almarhum. Sebagai lukisan Jupri memang mengaku kesana, dengan sepenuhnya mewarisi bentuk (yang ditunjukkan lewat presentasi figur-figur) dan semangat (yang ditampilkan lewat cerita) lukisan "sufisme" Amang Rahman. Jupri terpikat atas ihwal itu tentunya dengan penuh kesadaran. Dan ia memposisikan dirinya bukan sebagai epigon, namun pewaris. Sebagaimana Men Sagan meneruskan Affandi, Umi Dachlan meneruskan Ahmad Sadali.

Sebuah karyanya, Silang Pendapat memperjelas soal itu. Dua wanita di dunia baka nampak berdialog. Rambutnya mengurai lantaran angin yang bertiup di langit kelam. Seorang anak perempuan nampak terbang bersama cahaya meteor. Amangisme ? Ya. Tetapi Jupri mencoba kisah-kisah sufis-surealis sendiri. Dan ini berhubungan dengan lukisan kaligrafi (ter)kecil yang ia bikin, cat minyak di atas kanvas berukuran 0,5 x 0,5 cm, yang terbaca "Basmallah"

Jakarta, 2003
Agus Dermawan T.
kritikus seni